Model perhutanan sosial di Nusa Tenggara Timur umumnya mulai berkembang sejak pecahnya konflik agraria di sejumlah kawasan hutan negara—kawasan konservasi maupun hutan produksi. Pengembangan Hutan Kemasyarakatan (HKm) menjadi alat negosiasi guna meredam konflik yang terjadi. Pada awalnya, pengembangan HKm diharapkan dapat menjadi solusi agar masyarakat mendapatkan akses mengelola kawasan hutan guna kepentingan ekonomi tanpa merusak fungsi ekologinya.
Perkembangan HKm di NTT rupanya tak semulus yang diharapkan banyak pihak. Hingga penerbitan Permen LHK No. P.83 Tahun 2016 tentang Perhutanan Sosial, inisiatif HKm lebih banyak didorong oleh para pihak dari luar pemerintahan daerah. Tak heran, banyak inisiasi skema pengelolaan HKm yang kandas karena gagal mendapatkan Izin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUP-HKm).
Sejumlah kawasan yang telah memiliki Penetapan Areal Kerja HKm kini banyak terbengkalai. Padahal secara nasional, pemerintah pusat telah mendorong percepatan implementasi perhutanan sosial. Sayangnya, banyak inisiatif lokal yang tidak terfasilitasi dengan baik. Bahkan, Kelompok Kerja Perhutanan Sosial NTT (Pojka PS NTT) tak dapat memaksimalkan perannya karena kurang terfasilitasi oleh pemerintah provinsi.
Model pengelolaan HKm lebih familiar bagi masyarakat calon pengelola kawasan di NTT. Maka tak heran apabila banyak pihak yang mensosialisasikan HKm dibandingkan model perhutanan sosial lainnya. Pada 2016, Pokja PS NTT berupaya mensosialisasikan model perhutanan sosial di 23 kabupaten/kota di NTT dengan dukungan dana yang serba terbatas.
Kini pemerintah pusat telah mengalokasikan 12,7 juta hektare kawasan hutan agar masyarakat dapat mengelolanya melalui berbagai skema perhutanan sosial. Bagi para pelaku perhutanan sosial di NTT, momentum tersebut memotivasi mereka agar lebih giat untuk memberikan akses legal kepada masyarakat mengelola kawasan. Ruang yang dahulu sulit ditembus oleh para pihak seperti lembaga swadaya masyarakat (LSM), justru kini terbuka luas.
Kepala Bidang Perhutanan Sosial Dinas Kehutanan Provinsi NTT dalam “Workshop Mendorong Percepatan Perhutanan Sosial bagi Kesejahteraan dan Pelestarian Hutan di NTT” yang digelar Burung Indonesia dan mitra Program Kemitraan Wallacea pada 14-15 November 2017 mengatakan, dari 23 kabupaten/kota di NTT, hanya 10 kabupaten yang telah menjalankan kegiatan HKm secara baik, dengan status capaian bervariasi. Dari 10 kabupaten tersebut, seluruh pengusulan HKm difasilitasi oleh LSM jauh sebelum pemerintah membuka keran perhutanan sosial.
Stagnansi ini mendorong Pokja PS NTT untuk menggunakan pendekatan berbeda, yakni dengan hanya memfasilitasi pengajuan HKm berdasarkan kebutuhan masyarakat, bukan sekadar mengejar target alokasi perhutanan sosial. Kepala Subdit Pemolaan dan Perpetaan Direktorat PKPS Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Agus Hidayat, menegaskan bahwa 12,7 juta hektare yang dialokasikan bukan target kinerja KLHK.
Workshop Mendorong Percepatan Perhutanan Sosial Bagi Kesejahteraan dan Pelestarian Hutan di Nusa Tenggara Timur, 14 – 15 November 2017
Belum termanfaatkannya alokasi tersebut, menurut Hidayat mengindikasikan masyarakat belum membutuhkan kawasan hutan yang telah dialokasikan. Berdasarkan evaluasi para peserta workshop, beberapa kelompok masyarakat yang telah mendapatkan IUP-HKm belum bisa mengelola kawasan hutan secara maksimal. Bahkan, terdapat kawasan yang sudah memiliki IUP-HKm dibiarkan terlantar. Pemberdayaan masyarakat menjadi kunci agar skema HKm dapat berjalan efektif di tingkat masyarakat.
Pemberdayaan masyarakat merupakan salah satu aspek penting untuk mengembangkan skema perhutanan sosial di NTT di masa mendatang. Hasil evaluasi para peserta workshop, ada sejumlah masalah dalam mengimplementasikan skema perhutanan sosial di lapangan. Hal yang paling mendasar yakni pemahaman perhutanan sosial yang belum memadai, permasalahan di tingkat tapak, dan pada tahapan proses fasilitasi.
Pemahaman tentang perhutanan sosial di tingkat masyarakat masih beragam. Beberapa anggota kelompok masyarakat pemegang IUP-HKm justru masih mengharapkan agar lahan kelola dalam kawasan hutan dapat menjadi hak milik. Pemahaman ini sangat berpengaruh terhadap sikap dan perilaku mereka saat mengelola lahan dalam areal HKm. Di tingkat tapak, cukup banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang HKm di beberapa areal yang telah memiliki Peta Areal Kerja (PAK). Selain masalah tersebut, masalah lain di tingkat tapak adalah distribusi lahan kelola yang tidak adil di antara anggota.
Masalah-masalah tersebut sebetulnya merupakan dampak lanjutan dari proses fasilitasi dan inisiasi yang belum dikelola secara baik sebelum HKm diusulkan. Cerita tentang penolakan HKm oleh masyarakat Desa Natakoli di Maumere adalah contoh bahwa pengusulan HKm terkadang mengabaikan proses yang berkualitas.
Masa depan konservasi kehati
Implementasi skema perhutanan sosial di NTT memang didesain agar tidak mengganggu perlindungan terhadap keragaman hayati. Namun, merujuk pada kondisi faktual, apabila tidak ada intervensi yang berarti dan tepat sasaran melalui skema percepatan perhutanan sosial yang telah dicanangkan, maka implementasi skema HKm akan menjadi ancaman serius bagi konservasi keragaman hayati.
Orientasi pengelolaan HKm yang telah memiliki IUP saat ini didominasi oleh kepentingan ekonomi dibandingkan dengan perbaikan ekologi kawasan. Pengategorian tanaman dari berbagai strata juga belum menjadi perhatian masyarakat maupun lembaga pendamping mereka. Berangkat dari kondisi tersebut, apabila pelaksanaan HKm tetap ingin berkontribusi terhadap konservasi kehati, maka masyarakat penerima IUP-HKm tidak dapat dibiarkan berjalan sendiri di tingkat tapak.
Rencana pengelolaan kawasan sejatinya disusun berdasarkan kajian mendalam mengenai kondisi sosial, ekonomi, dan ekologi kawasan. Demikian pula terkait implementasi rencana pengelolaan; diperlukan kelompok yang mampu mengawal dan mendampingi masyarakat agar mampu melaksanakan ketentuan teknis. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah penguatan kelembagaan bagi kelompok masyarakat pemegang IUP. Organisasi masyarakat yang luas mampu mengorganisir dan mengawasi para anggotanya dalam melakukan kegiatan pengelolaan, ataupun melawan intervensi dari luar yang tidak sesuai dengan rencana pengelolaan ataupun yang mengancam keragaman hayati. (TTH)