KBA Galela (IDN 149)
KBA Galela berada di penghujung utara Pulau Halmahera, dengan luas 3.361 ha. Dalam KBA ini, telah teridentifikasi keberadaan burung gosong maluku (Eulipoa wallacei) yang berstatus rentan terhadap kepunahan (Vulnerable-VU). Pemanfaatan telur burung gosong maluku oleh warga desa yang telah berlangsung beberapa generasi mengandung nilai kearifan dalam pemanfaatan keragaman hayati.
Kondisi demikian tetap terjadi hingga kini, bahkan masyarakat juga menjual telur-telur tersebut sebagai sumber penghidupan sehingga ada risiko pengambilan berlebihan. Di sisi lain, abrasi pantai terus terjadi dan mengurangi lahan tempat bertelur. Penebangan mangrove yang berlebihan juga berakibat pada berkurangnya lahan gosong maluku untuk beraktivitas.
Program Kemitraan Wallacea mendorong masyarakat—baik para pengambil telur, masyarakat umum, dan pemerintah desa—untuk menjaga keragaman hayati demi kehidupan di masa sekarang dan nantinya. Setelah melalui serangkaian proses, pemerintah desa maupun para pengambil telur sampai pada kesepakatan untuk melakukan tindakan pencegahan kepunahan gosong maluku dari pesisir Galela.
Masyarakat terlibat dalam inisiatif untuk meningkatkan populasi gosong di alam. Mereka juga membentuk kelompok pengawasan, yang menjaga habitat bertelur dan kawasan mangrove di sekitarnya dari penebangan. Saat ini, dari berbagai laporan dan data yang ada terindikasi bahwa populasi gosong maluku telah meningkat. Berbekal keberhasilan tersebut, kelompok bersama pemerintah desa sedang memperluas spektrum program dengan melibatkan para pihak yang berkomitmen mendukung praktik cerdas ini.
KBA Teluk Buli (IDN 157)
Perairan Teluk Buli kaya akan beragam kehidupan. Hutan mangrove yang asri, jenis-jenis lamun, burung gosong maluku (Eulipoa wallacei), dugong (Dugong dugon), penyu hijau (Chelonia mydas) dan jenis-jenis penyu lainnya serta satwa laut lainnya. Masyarakat menikmati hasil laut yang berlimpah, namun pemanfaatan berlebihan di hutan mangrove tentu mengancam kelestariannya, di antaranya pengambilan telur penyu dalam jumlah besar.
Program Kemitraan Wallacea mengajak masyarakat di Desa Gotowasi melakukan kajian keragaman hayati laut bersama dengan perguruan tinggi, menilai pemanfaatan selama ini, memetakan wilayah pesisir dan lautnya, serta menentukan lokasi yang perlu dikelola secara lestari. Peta yang berisi zonasi pengelolaan telah disusun bersama dengan kesepakatan bersama dan peraturan desa yang menaunginya telah ditetapkan.
Masyarakat juga telah melakukan aksi konservasi berupa pembibitan dan penanaman mangrove, yang melibatkan anak-anak sekolah, kelompok perempuan dan laki-laki dewasa. Masyarakat di Desa Gotowasi telah memahami pentingnya melindungi penyu dan dugong, namun masih membutuhkan waktu untuk merubah perilaku pengambilan telur penyu. Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Halmahera Timur dan Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Halmahera Timur bersinergi dengan Program Kemitraan Wallacea sejak program dijalankan. Desa Gotowasi telah menjadi area pengembangan program wisata Pemerintah Kabupaten Halmahera Timur.
KBA Dote-Kobe (IDN 167)
KBA Dote-Kobe merupakan rumah bagi beragam jenis satwa liar, darat maupun laut, di antaranya adalah burung kakatua putih (Cacatua alba), kasturi ternate (Lorius garrulus), cekakak murung (Todiramphus funebris), julang papua (Rhyticeros plicatus), serta dugong (Dugong dugon) dan beberapa jenis penyu. Masyarakat telah hidup berdampingan secara turun temurun dengan satwa liar yang hidup dalam wilayah adat mereka. Namun, pembukaan lahan di hutan terutama oleh perusahaan tambang serta pengambilan pasir galian C di pesisir, mengancam keberlangsungan hidup satwa liar sekaligus masyarakat yang menikmati layanan alam hutan dan pesisir.
Program Kemitraan Wallacea memperkuat kapasitas masyarakat adat Desa Fritu dalam memetakan wilayah adat, mengidentifikasi keanekaragaman hayati di wilayah adat mereka, menentukan zonasi, dan menyusun kesepakatan bersama untuk pengelolaan hutan adat secara lestari. Peraturan desa berdasarkan proses tersebut telah ditetapkan dan peta wilayah adat telah disahkan. Kini, beragam jenis burung mudah dijumpai di tepian hutan adat sebab sudah tidak terjadi perburuan burung.
Masyarakat juga sudah tidak meracuni sungai untuk mengambil udang dan melakukan perlindungan terhadap mata air Sungai Myasem, yang merupakan sumber air bersih masyarakat. Hutan adat Desa Fritu tengah diproses untuk mendapatkan pengakuan hutan adat dalam skema perhutanan sosial. Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Maluku Tengah tentang Masyarakat Adat juga masih diproses badan legislatif daerah . Ke depan, implementasi peraturan desa akan diperkuat dengan adanya pemantauan hutan adat secara berkala, skema hutan adat terus diupayakan dan pengukuhan peraturan daerah terus didorong.