Masyarakat Buano berhasil menghidupkan kembali nilai-nilai tradisionalnya untuk mengatasi krisis sumber daya alam darat dan laut secara terintegrasi (ridge to reef). Mereka mengaktifkan lagi Kewang, lembaga adat yang mengawasi pelaksanaan aturan soal pemanfaatan sumber daya. Aktivitas yang mengancam keragaman hayati dan merusak sumber daya sudah tidak dijumpai lagi. Tidak ada lagi penebangan bakau untuk kayu bakar, juga perburuan penyu dan pengeboman ikan sudah berhenti sama sekali. Hasilnya, mereka kini dapat menangkap ikan dengan mudah di pesisir negeri. Karenanya warga bertekad, kearifan ini harus didukung oleh pemerintah negeri maupun yang lebih tinggi agar Buano tetap lestari.
Meski letaknya jauh di ujung barat lepas pantai Pulau Seram, Buano adalah pulau kecil yang terkenal di seantero Kepulauan Maluku sebagai penghasil perahu-perahu tangguh. Ini karena penggunaan kayu-kayu kelas satu yang dulu banyak tumbuh di pulau karang ini. Selain itu, Buano juga penghasil minyak kayu putih yang produktif. Namun era kejayaan Buano yang bergantung pada eksploitasi sumber daya alam telah menurun karena mulai langkanya kayu-kayu kelas satu. Hutan juga semakin menyempit karena meluasnya kebun kayu putih dan tingginya kebutuhan kayu bakar untuk memasak kayu putih. Di laut, masyarakat mulai terpengaruh menggunakan cara-cara menangkap ikan yang merusak ekosistem. Krisis sumber daya mengancam keberlanjutan masyarakat dua negeri di Pulau Buano yang terpisah dari dunia luar.
Upaya penyelamatan ekosistem dirintis pada 2016 dengan memulihkan kawasan pesisir dari aktivitas menangkap ikan yang merusak. Setelah setahun, upaya ini berhasil mengajak warga menghidupkan kembali kearifan lokal mengelola sumber daya lautnya. Keberhasilan lalu ditingkatkan cakupannya ke arah darat serta meliputi wilayah dua negeri yang sempat dilanda ketegangan sejak 1983 . Walau tidak mudah dan terjal jalannya, komunitas mendapati bahwa kembali pada kearifan yang diwariskan oleh nenek moyang adalah salah satu jawaban atas krisis yang mereka alami. Jalan ini pun didukung oleh banyak institusi yang menangani kawasan hutan maupun laut dan pesisir.
Lewat sebuah musyawarah besar dua negeri, masyarakat Buano Utara dan Selatan yang masih bersaudara menyepakati aturan-aturan prinsip yang dituangkan dalam rencana strategis pengelolaan berkelanjutan. Kesepakatan diambil mulai dari setiap kumpulan marga (Soa) hingga tingkat negeri dan pulau. Untuk pertama kalinya sejak tahun 1983, kedua negeri bersaudara ini duduk bersama untuk membahas kepentingan bersama dan menyepakatinya. Dokumen ini merupakan pengejawantahan dari kearifan yang hidup dan dipraktikkan oleh masyarakat sehari-hari, sehingga penerapan dan pemantauannya juga dilakukan lewat perangkat adat di setiap Soa. Rencana strategis ini telah disinergikan dengan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) Provinsi Maluku dalam bentuk pencadangan Kawasan Konservasi Perairan Daerah Pulau Buano, mencakup tiga daerah perlindungan laut (DPL) yang telah disepakati masyarakat, yakni DPL Pulau Sarani, DPL Tanjung Sinohi dan DPL Tanjung Pamali.