Program Kemitraan Konservasi Wallacea yang bekerja di Area Pendanaan Prioritas di Danau Poso dan Kompleks Danau Malili telah berjalan selama satu tahun. Untuk menyebarkan capaian dan pembelajaran yang berhasil diraih mitra selama program berjalan, Burung Indonesia menggelar lokakarya yang berlangsung di Kantor Kecamatan Nuha, Kabupaten Luwu Timur, Sulawesi Selatan, pada Jumat (24/03).
Burung Indonesia sebagai Tim Pelaksana Regional (RIT) untuk CEPF di kawasan Wallacea, selama setahun terakhir bekerjasama dengan tiga organisasi masyarakat sipil (CSO) dalam aksi konservasi ekosistem di Kompleks Danau Malili dan peningkatan kapasitas masyarakat sekitar melalui pendekatan yang berkelanjutan. Ketiga CSO tersebut antara lain Perkumpulan Wallacea, Fakultas Kehutanan Universitas Andi Jemma (Unanda), dan Fakultas Perikanan Unanda.
Dalam pengantarnya, Team Leader RIT CEPF Program Wallacea Burung Indonesia, Adi Widyanto, mengatakan program ini sejatinya fokus terhadap pelestarian keanekaragaman hayati di kawasan Wallacea. “Tetapi untuk mencapai itu (kelestarian keanekaragaman hayati) dan apa saja yang bisa dicapai dari aktivitas tersebut, kembali lagi pada dasarnya untuk kehidupan manusia secara berkelanjutan.”
Dalam pemaparannya, Fakultas Perikanan Unanda yang menginisiasi pengelolaan perikanan butini (Glossogobius malanensis) dan spesies endemik lainnya di Danau Towuti menyampaikan, telah muncul kesadaran masyarakat Desa Timampu di Kecamatan Towuti tentang pelestarian ikan endemik tersebut dan dikuatkan dengan peraturan desa yang diinisiasi langsung oleh masyarakat setempat. Sebelumnya jenis ini terancam oleh praktik destructive fishing, overfishing, dan invasive species.
“Sekarang juga telah terbentuk kelompok masyarakat yang mampu melakukan pengukuran kualitas air danau dan stok ikan butini agar dapat mengetahui dinamika populasinya. Kami juga menginisiasi pembentukan kelompok pengawas masyarakat untuk mengawasi aksi destructive fishing. Anggota kelompoknya merupakan warga yang dulunya melakukan aksi destructive fishing seperti penyetruman untuk mendapatkan hasil tangkapan secara mudah,” ujar Dekan Fakultas Perikanan Unanda, Henny T.C. Palemmai.
Sejalan dengan Fakultas Perikanan Unanda, Hadijah Azis dari Fakultas Kehutanan Unanda mengungkapkan pada Desember 2016, Pemerintah Desa Matano dan Nuha di tepian Danau Matano telah mengesahkan peraturan desa mengenai perlindungan tiga tumbuhan endemik di kawasan tersebut. Tumbuhan itu antara lain rode (Vatica flavovirens), damadere (Vatica rassak), dan mata kucing (Hopea celebica).
Perambahan lahan untuk perkebunan merica di daerah pesisir Danau Matano merupakan salah satu masalah utama yang mengancam tiga tumbuhan endemis tersebut beserta habitatnya, di samping illegal logging. Bahkan, warga di dua desa sebelumnya diketahui menebang jenis ini untuk dimanfaatkan sebagai tiang perkebunan merica. Namun, melalui sejumlah inisiatif program, kini warga di Desa Matano dan Desa Nuha sudah tidak lagi mempraktikkan aktivitas tersebut.
“Kami bersama-sama Perkumpulan Wallacea atas inisiatif dari masyarakat juga mendorong pembentukan kelompok tani hutan sebagai pokja (kelompok kerja) di tingkat desa. Kemudian ada juga pelatihan teknik budidaya jenis endemik, pelatihan model agroforestri, dan pembentukan kebun bibit desa,” jelas Hadijah.
Berdasarkan hasil monitoring Fakultas Kehutanan Unanda, ia melanjutkan, laju perambahan lahan dan penebangan ilegal di Desa Nuha kini sudah menurun. Hal itu juga didorong oleh pengetahuan warga di Desa Nuha mengenai jenis-jenis endemis yang telah meningkat melalui aktivitas penyadartahuan. Selain itu, pihaknya juga mendorong pengesahan peraturan desa mengenai perlindungan tiga prioritas jenis tersebut. “Perdes ini sudah masuk dalam musrembang desa dan sudah dituangkan ke dalam dokumen RPJMDes untuk di dua desa,” tambahnya.
Sementara itu, jika kedua mitra dari Unanda fokus pada program perlindungan spesies, capaian dan keberhasilan Perkumpulan Wallacea berada pada program peningkatan dan perencanaan wilayah kelola Danau Matano, khususnya d Desa Matano dan Desa Nuha. Oleh sebab itu, lembaga yang terbentuk pada tahun 2000 ini fokus pada pengelolaan secara partisipatif antara warga, pemerintah, dan juga sektor swasta.
Salah satu capaian yang berhasil diraih melalui strategi program yang dijalankan Perkumpulan Wallacea adalah penyusunan peta tata guna lahan yang dirumuskan dan disepakati oleh masyarakat di kedua desa. Setelah merampungkan penyusunan peta tata guna lahan, masyarakat di dua desa juga mencoba mengembangkan lebah trigona sebagai media pembelajaran dalam memaksimalkan lahan produksi dan peningkatan pendapatan rumah tangga.
Pengembangkan lebah trigona merupakan salah satu cara untuk mengisi kesepakatan peruntukan tata guna lahan yang telah dibuat oleh masyarakat Matano dan Nuha. Dengan begitu, peluang untuk meningkatkan pendapatan masyarakat di bidang pertanian dapat memaksimalkan ruang produksi yang telah disepakati sebelumnya, serta menciptakan alternatif kegiatan ekonomi pertanian lainnya.
Capaian yang telah diraih oleh ketiga mitra selama satu tahun program berjalan merupakan representasi dari pembelajaran yang selama ini berhasil terumuskan di tahap awal. Oleh sebab itu, program ini belum disertai rekomendasi lebih lanjut. Pembelajaran ini menjadi model untuk mengetahui cara paling efektif untuk mengelola ekosistem Danau Matano secara berkelanjutan. (MEI)