Pemerintah telah mencanangkan program Perhutanan Sosial sejak 2016 yang bertujuan untuk memberdayakan masyarakat dalam pengelolaan hutan dengan tetap berpedoman pada aspek kelestarian. Pendekatan ini diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekaligus menjamin kelestarian ekosistem hutan dalam berbagai skema yang tersedia, mulai dari Hutan Kemasyarakatan, Hutan Desa, Hutan Tanaman Rakyat, hingga Hutan Adat.
Di Maluku Utara, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah mengalokasikan kawasan hutan negara seluas 68.000 hektare sebagai area perhutanan sosial dan menjamin proses perizinan menjadi lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Hal ini membuktikan bahwa pengelolaan sumber daya alam (SDA) berbasis masyarakat merupakan salah satu pendekatan yang efektif dalam konservasi keragaman hayati.
Untuk memahami lebih jauh mengenai hal tersebut, Program Kemitraan Wallacea menyelenggarakan lokakarya Percepatan Perhutanan Sosial di Ternate, Maluku Utara, 28 Agustus 2017. Jalannya lokakarya difasilitasi oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara, bekerja sama dengan Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM) yang didukung oleh Burung Indonesia dan Critical Ecosystem Partnership Fund (CEPF).
Selain di Maluku Utara, beberapa mitra program di Pulau Alor dan Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, telah menerapkan strategi Hutan Kemasyarakatan untuk merehabilitasi kawasan hutan bekas perambahan. Sementara di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan, mitra menjadikan program Hutan Desa sebagai sarana untuk melindungi layanan alam (ecosystem services) dari ekosistem setempat.
Program-program yang dijalankan para mitra sejalan dengan tujuan program Perhutanan Sosial, khususnya pada Arahan Strategis 3 Program Kemitraan Wallacea, yakni Pengelolaan Sumber Daya Alam Berbasis Masyarakat. Pada arahan strategis ini, program memfasilitasi masyarakat untuk mengidentifikasi dan memetakan sumber daya hayati di wilayahnya, kemudian menyusun rencana pengelolaan, dan selanjutnya mendapatkan pengakuan dan dukungan dari para pihak baik pemerintah maupun pemangku kepentingan yang lain.
Warga berdiskusi di area kerja Hutan Kemasyarakatan di Flores Timur (Foto: Conservation International/Aulia Erlangga)
Perhutanan Sosial dengan berbagai harapan yang menyertainya adalah program yang strategis untuk mencapai tujuan konservasi maupun penghidupan yang berkelanjutan. Di sisi lain, terdapat risiko penyalahgunaan yang dapat menyebabkan kerusakan ekosistem hutan, yang pada akhirnya dapat menghilangkan kepercayaan banyak pihak bahwa masyarakat mampu mengelola hutan secara lestari. Untuk itu, proses pelaksanaannya perlu dilakukan secara bertahap dan berhati-hati agar dapat membangun model pembelajaran yang dapat direplikasi di lokasi-lokasi baru nantinya.
Program Kemitraan Wallacea telah mengembangkan strategi tersebut dengan cara bereksperimen bersama mitra, masyarakat, dan para pihak untuk menemukan model pelaksanaan aksi konservasi di tingkat tapak yang efektif. Keberhasilan itu lalu didiseminasikan agar pemerintah dan mitra pembangunan lainnya dapat mereplikasi hal tersebut. Melalui Program Kemitraan Wallacea, Burung Indonesia bersama mitra berkomitmen mengawal pelaksanaan Perhutanan Sosial baik di tingkat tapak, maupun integrasinya ke dalam kebijakan daerah, misalnya RPJMD di lokasi-lokasi program.
Lokakarya menghadirkan perwakilan Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (BPSKL) Maluku-Papua, Dinas Lingkungan Hidup, Dinas Kehutanan, dan Bappeda di lingkup Propinsi Maluku Utara serta Kabupaten Halmahera Tengah, Halmahera Utara dan Kota Tidore Kepulauan.