Setelah bersitegang sejak 2007, masyarakat adat Kobe akhirnya menerima kehadiran Balai Taman Nasional Aketajawe Lolobata (BTN-AL) pada akhir 2018. Hal ini terjadi setelah adanya dialog intensif antara perwakilan masyarakat adat dengan pihak BTN-AL untuk membicarakan wilayah masyarakat adat yang berada dalam kawasan taman nasional, tata kelolanya, serta kemungkinan kemitraan yang bisa dibangun. Proses menuju penghentian konflik berliku, namun partisipasi aktif masyarakat menjadi kunci keberhasilan. Masyarakat adat Kobe telah menentukan areal dalam wilayah adat yang boleh dan tak boleh dimanfaatkan serta rencana kelolanya, kemudian bersepakat dengan BTN-AL untuk membangun kemitraan konservasi di dalam kawasan taman nasional bersamaan dengan pengajuan hutan adat. Akhirnya, konflik yang terjadi sejak 2007 dapat dihentikan dan terwujud sinergi untuk pengelolaan tapak.
Bagi masyarakat adat Kao, partisipasi aktif juga merupakan kunci bagi adanya kolaborasi dalam pengelolaan tapak dan perlindungan jenis. Di Kao, masyarakat rutin mengambil telur gosong maluku (Eulipoa wallacei) dan penyu hijau (Chelonia mydas) serta membuka mangrove untuk dijadikan perkebunan. Pemerintah desa telah membuat Peraturan Desa Kao No. 3/2017 yang melindungi hutan mangrove dan melarang segala perburuan di kawasan pesisir. Masyarakat adat Kao juga menggali nilai-nilai kearifan terkait keanekaragaman hayati agar tetap lestari. Warga yang biasa mengambil telur gosong maluku dan penyu telah bersepakat untuk mengurangi frekuensi pengambilan telur dan meninggalkan sebagian telur. Masyarakat dan pemerintah desa aktif mendorong kolaborasi para pihak untuk mengelola desa wisata dan memastikan adanya perlindungan jenis, sekaligus mengusulkan kawasan ekosistem esensial.
Di Fritu, tantangannya berbeda. Dengan keberadaan perusahaan kayu dan tambang di wilayah adat, masyarakat menjadi apatis bahkan berburu burung dan menggunakan racun untuk menangkap udang sungai. Melalui proses pemetaan dan diskusi tentang keanekaragaman hayati dan pemanfaatan lestari, masyarakat adat Fritu telah mengatur tata ruang wilayah adatnya, menyusun rencana kelola dan mengawasinya; semua tertuang pada Peraturan Desa Fritu No. 1/2017. Kini, tidak ada lagi masyarakat yang berburu burung dan meracuni sungai, serta hanya mengolah lahan di wilayah yang disepakati. Burung paruh bengkok dan julang papua (Rhyticeros plicatus) mudah dijumpai di kawasan hutan adat hampir sepanjang waktu. Meski begitu, masih ada tantangan pemanfaatan tak lestari dari pihak luar, sehingga masyarakat mendorong peraturan daerah mengenai masyarakat adat di tingkat kabupaten dan mengajukan hutan adat.